Era Digital, Kecerdasan Buatan, dan Dunia Sastra*

 Oleh Dwi Rahariyoso 

Perkembangan wacana posmodern dalam kebudayaan pada akhirnya menawarkan suatu gagasan untuk merevisi semua cara pandang terhadap kondisi-kondisi yang selama ini dianggap sudah final. Tak terkecuali juga di ranah kesusastraan. Sebagai suatu perspektif (dan bahkan ideologi), posmodern memberikan suatu tawaran akan perkembangan-perkembangan mutakhir yang terjadi dalam lanskap kebudayaan seiring berkembangannya dunia ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih. Atas dasar yang demikian, maka bisa dilihat bahwa dunia kesastraan dalam ruang-ruang kebudayaan juga mendapat imbas secara signifikan, yakni dikotomi antara kriteria sastra populer dengan sastra adiluhung menjadi semakin samar, bahkan berantakan.

Tidak dipungkiri bahwa teknologi yang berkembang berdampak pada perubahan konteks estetika yang terjadi dalam kesastraan, dalam artian bahwa orientasi terhadap nilai dan prinsip yang selama ini diakui dan digunakan dalam mengukur standar kesastraan bergeser drastis. Hal senada disampaikan oleh Nurhidayah dan Setiawan (2019),

“...eksklusivitas sastra adiluhung justru mendestruksikan diri dan menjadi hal yang populer, seperti karya fiksi bertema LGBT, (a)moralitas, anti-hero, dan lain sebagainya yang justru diterima publik dan menjadi populer. Ada peran perkembangan teknologi yang menjadikan fenomena nilai kesusastraan menyebar, bukan terpusat pada institusi representatif, melainkan berada pada kedekatan pembaca-penulis yang termediasi oleh media elektronik.”

Apa yang diuraikan di atas menunjukkan bahwa teknologi secara masif berperan besar dalam membentuk orientasi dan estetika kesastraan di era digital. Sebagai suatu era yang bisa dikatakan canggih dan mengarah kepada apa yang dinamakan sebagai “interaktivitas”. Dunia sastra yang semula konvensional dalam kemasan cetak dan sejenisnya telah berpindah medium ke ranah internet yang secara konektivitas dan keterjangkauannya lebih luas. Dalam konteks yang demikian, kesastraan pun mengalami suatu penyesuaian dan perubahan secara masif ke ranah siber, yang mana komunikasi dan apresiasinya berbasis pada interaktivitas antara satu warganet dengan warganet lain secara simultan. Interaksi kesastraan di ranah siber dan media sosial menjadi lebih cair dan terbuka dibandingkan dengan mode konvensional cetak. Tidak hanya itu, gejala-gejala yang muncul dalam konteks siber dan digital bisa dikatakan lebih fluid, tidak dikotomis, alternatif, dan membuka kemungkinan-kemungkinan yang sebelumnya tidak terbayangkan atau tidak terakomodir dalam mode konvensional. Produksi karya sastra semakin masif, dengan konteks dan segmen pembaca yang bervariasi. Tidak sebatas itu, dunia sastra juga semakin memberikan kemungkinan-kemungkinan baru bagi penulis yang selama ini tidak berkesempatan muncul di ranah konvensional.

Dalam kesempatan lain, konsekuensi atas ini semua menandakan bahwa perkembangan dunia digital dengan model interaktivitas antarpengguna membuka peluang bagi perkembangan kebudayaan populer. Hal ini dimaksudkan bahwa, era digital dan internet, memberikan peluang bagi masifnya konsumsi melalui media, sebuah era konsumerisme yang berbasis simulasi (dalam pandangan Baudrillard). Dengan pengertian yang demikian, maka kita bisa menyimpulkan bahwa ada korelasi erat antara dunia digital (dalam hal kehadiran sastra siber) dengan praktik dan pola konsumerisme yang secara sosial media menjadi basis bagi kebudayaan populer. Dalam kebudayan populer, parameter yang menjadi epistemologinya terutama berbasis pada “konsumsi”.

Secara spesifik yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan ranah populer adalah budaya dan masyarakat, yang di dalamnya berkaitan dengan pemahaman tentang jenis sastra yang meliputi fiksi yang dapat berupa prosa dan film. Dalam konteks ini, budaya populer dapat diterjemahkan dalam artian sastra populer (Adi, 2011: 19).

Kebudayaan populer sendiri memberikan suatu pemahaman bahwa segala model produksi dan kebutuhan mengarah kepada selera serta hasrat konsumerisme masyarakat. Hasrat sebagai sumber produksi ini difasilitasi dalam perkembangan teknologi dan masyarakat posmodern dengan berbasis pada dimensi-dimensi yang mengimitasi realitas secara masif. Satu hal yang menjadi cukup penting adalah “populisme”. Dalam konteks sastra digital dan siber, internet mengambil alih kuasa dominan dalam ranah kesastraan yang selama ini muncul dan berkembang dalam dunia digital. Interaktivitas menandai bahwa bagaimana suatu karya direspon dan kemudian diberikan stratifikasi sosial secara populis. Lebih jauh, bahwa apa yang kemudian muncul dalam hal ini adalah otoritas konvensional ranah kesastraan yang semula kanonik/adiluhung, dibombardir dengan bagaimana dunia siber mengatur regulasi atas suatu karya beserta bobotnya secara populis. Prinsip yang demikian senada dengan gagasan posmodern dalam konteks meleburnya batas antara yang adiluhung dengan yang populer (picisan).

Tidak hanya itu, dalam perkembangan yang lebih mutakhir, kecerdasan buatan (artificial intelligence) semakin mendiskreditkan asas kompetensi estetik, terutama kepakaran dan kepengarangan sebagai suatu “bakat” atau proses. Proses-proses berkarya (jika bisa dikatakan sebagai suatu mode produksi) tidak lagi harus dialami, melainkan tinggal diintsruksikan sesuai selera. Kecerdasan buatan telah mengusung semangat “nirmanusia” melalui model chat bot dengan membangun suatu mekanisme produksi berbasis big data secara canggih dan instan. Apa yang diinginkan oleh hasrat purba manusia dalam kebudayaan, niscaya akan terakomodir. Baik secara maksimal maupun sebatas administratif. Kecerdasan buatan menjadi suatu model dalam perkembangan kebudayaan digital yang bertujuan menggantikan posisi manusia secara teknis. Termasuk di dalamnya dalam wilayah dunia sastra. Beberapa model penciptaan (penyusunan) karya puisi bisa diinstruksikan melalui aplikasi ini secara daring. Secara administratif, kecerdasan buatan memahami “perintah” dengan mengidentifikasi beberapa kata kunci sehingga ia bisa mengumpulkan dan melacak semua jejak digital melalui big data yang kemudian disusun secara algoritma untuk menyelesaikan tugas yang sudah diperintahkan.

Pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana hasil yang diperoleh dari mode produksi melalui kecerdasan buatan ini? Hal ini saya kira perlu penelitian lebih lanjut agar bisa memberikan gambaran yang memadai. Kendati demikian, ada suatu hipotesis yang bisa dijadikan sebagai asumsi awal, bahwa dalam konteks masyarakat digital dan posmodern, segala wujud produksi diposisikan secara imitatif untuk memberikan kemungkinan-kemungkinan pemuasan hasrat dari para konsumen (penggunanya). Demikian halnya dengan produksi karya puisi (sastra) melalui kecerdasan buatan. Selama karya sastra diorientasikan sebagai dunia hiburan, bisa jadi hal ini akan tercapai secara maksimal. Sebagaimana pendapat Horatius, dulce et utile. Selebihnya kita masih perlu mempertajam riset dan melakukan observasi secara lebih spesifik terhadap kontribusi kecerdasan buatan ini bagi dunia sastra.

Kemajuan teknologi ini tentu saja memberikan suatu keniscayaan bahwa apa yang selama ini tidak dibayangkan bisa muncul dalam konteks kebudayaan saat ini. Dalam kaitannya dengan dunia kesastraan, secara konseptual perlu ditinjau kembali orientasi dan konteks kesastraan mutakhir dalam jejaring siber dan masyarakat posmodern dewasa ini. Terutama terkait dengan paradigma, orientasi, serta definisi-definisi kesastraan yang secara signifikan telah berubah drastis. Hal-hal ini secara masif, tentu saja menjadi bagian yang tidak bisa dilepaskan terutama dalam konteks akademik. Bahwa institusi, akademisi, sastrawan, praktisi, dan semua pemerhati kesastraan terlibat untuk secara berkelanjutan memberikan redefinisi terhadap eksistensi ranah kesastraan mutakhir. Bayang-bayang ini yang seringkali menjadi momok bagi wilayah akademik, dengan senantiasa mengulang romantisisme melalui pembatasan-pembatasan (teritori) diri menggunakan doktrin-doktrin masa silam bahwa kesastraan adalah suatu arena yang relatif stabil, tetap, dan kekal sepanjang zaman. Secara harfiah, ada kejumudan yang terjadi dan ketidaksiapan menghadapi perubahan kebudayaan di era digital yang secara simultan membuka segala batasan ruang dan dimensi.

Bukan tanpa suatu resiko, perkembangan hadir dan memberikan pengaruhnya di tengah kondisi masyarakat kesastraan kita sekarang ini. Terlebih dalam konteks pengkajian-pengkajian akademik dan apresiasi kesastraan yang terjadi di ranah perguruan tinggi. Konsekuensinya adalah sejauh mana dunia akademik bisa memberikan peran dan kontribusinya untuk membuka kabut yang selama ini menutupi lanskap “pandangan” dan menjadi mitos yang diwariskan secara turun-temurun. Dunia sastra sudah bergerak progresif di depan, sementara ranah akademik masih terseok-seok dalam mengidentifikasi suatu gejala dan fenomena yang ada. Semoga ini semua hanya sebuah delusi.

 

       Jambi, 16 Maret 2023

*) materi ini ditulis untuk kegiatan Mimbar Sastra HIMSI, dengan tema “Sastra Revolusioner” tanggal 17 Maret 2023

 

Sumber bacaan

Adi, Ida Rochani. (2011). Fiksi Populer: Teori & Metode Kajian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nurhidayah, Sri & Rahmat Setiawan (2019) “Lanskap Siber Sastra: Posmodernisme, Sastra Populer, dan Interaktivitas” dalam Jurnal Poetika: Jurnal Ilmu Sastra Vol. VII No. 2, Desember 2019.

Komentar

Postingan Populer