Mnemonik
Kopi Ibu
Ibu menyangrai
kopi, menjelang siang
seperti
almarhum bapak yang lembut di antara
asap kayu bakar
dan sangit yang menguar
anglo
tanah liat demikian hitam, angus dan lebam
hidup tak lekas
padam dari bara perapian
menyambung
ingatan demi ingatan
sumpek pawon
merekam amsal kejadian
hari-hari subuh
yang padam bergantian
kecuali sunyi, tungku
pediangan tanpa arti
biji-biji
dipanaskan serupa gelam, mengkilat mirip batang kayu
yang
dilayarkan. Sejumput beras, ditaburkan di permukaan
sangit
karam oleh sakit yang mendadak lenyap
mbahkung
merokok di sela sangit tungku
menduduki masa
lalu begitu saja dan mbahti sibuk
menampi gabah
di tengah paceklik yang ngantuk
Ibu menyangrai
kopi, ketika bapak pergi meninggalkan
tungku di hari
yang sama. Ia seperti kayu yang terbakar bara,
adalah arang
yang mengabu pada akhirnya
sebelum hampa
selesai, ibu menyangrai kopi
meski kayu tak
lagi dulu sebab tanah-tanah berpindah
dan anak-anak
telah menjadi angin yang berembus tanpa arah
harum kopi dan
sebungkus bubuk vanili
ketika tampah
dipenuhi biji-biji hitam mengkilat
matang seperti
usia yang terus menghilang
di pelataran,
sisa bara mengabu sekian masa
gema yang jauh
dari kersik angin, terdengar lelah
pendak pisan
nubuat kering disertai daun-daun patah
ada yang
menakjubkan dalam sakit,
ketika biji
kopi digiling dan sesuatu yang lembut
menggerusmu
dalam gelap cangik di dasar cangkir
barangkali
seseorang dari masa lalu
mempertemukanku
denganmu ibu. Seseorang yang kukenal
dan kunamai
bahagia, ialah mati
2023
Pergi ke
Masa Silam
Setelah
menyelesaikan buku. Ia mengunci pintu.
Jam dinding
habis oleh gerimis.
Tidak ada kelak
dari balik jendela.
Malam seperti
hampa diterpa
remang-remang
cahaya
Apakah masih
terbuka pintu ke masa silam,
sebelum aku
berangkat pulang dari tulang
belulang?
Lihatlah,
nostalgia adalah surga bagi mereka
menghadapi maut
yang kesekian
dari tubuh
tanpa nama tanpa isak sedih
Begitulah, ia
berbisik pada bantal dan selimut
semacam
perpisahan yang klise
2023
Dalam
Perjalanan
Truk-truk
batubara beriringan meninggalkan kota.
Debu bercampur
udara mirip stanza, menghias lazuardi,
meninggalkan
pagi. Jalan-jalan melepas berton-ton berat
di antara warna
tembaga dan amis karat batubara. Kota
barangkali jam
kerja yang melintasi dada para manusia.
Lampu jalan
padam. Hari berubah lambat. Modernisasi
mengirim
mimpi-mimpi ke seluruh dusun. Seperti merkuri,
mencuci sepanjang
sungai, menghanyutkan ikan-ikan,
dan batu-batu
pecah bersama kerikil yang sentimentil.
Di sebuah masa
depan yang lirih, kota kehilangan masa lalu
ketika malam
bergema dan penduduk mengungsi.
Dalam sebotol
air mineral, kota terasa dahaga
bekerja dan
berderit penuh kesakitan. Barangkali ia
tak mengingat
Tuhan, sesekali bergumam dan lupa
sepanjang
jalan. Truk-truk batubara mirip siapa saja
yang datang dan
pergi, melintas penuh gegas.
Di jalan yang
sama, menjadi purba
dari masa ke
masa.
2023
Menyiapkan
Tidur
:Amurwabhumi
di kasur tipis malam
tiba sudah
tak ada dongeng
atau suara ibu
kecuali selimut
kucel dan masa lalu
mungkin bapakmu
ini bukan seorang tabah
ketika sesekali
angin mengembus jendela,
cahaya surut
menutup mata
kita
mengenang-ngenangkan yang jauh;
kebahagiaan
milik semesta
barangkali
denging nyamuk dilepaskan udara
atau lembap
udara yang luruh
menjadi siapa
saja dalam sisa nafas kita
bukan doa yang diucapkan
agar malam tak
lekas padam dari peraduan
melainkan
segala kenangan
yang
memenangkan seluruh pertarungan
hingga esok
yang tak pernah ada
di kasur tipis,
malam tiba sudah
hari-hari tak
dimengerti seketika lepas
sunyi menjadi
padang-padang asing
yang tak
terjangkau oleh pengembara
mana pun;
seperti
terdengar gema bintang atau azan
di kejauhan,
seperti kesepian
mengosongkan
semesta
2023
Bulan
hari kesekian
Maret lebih sunyi
dari Februari
ia diembus
angin pelan
menerpa
pucuk-pucuk kelapa
tak ada siapa-siapa
kecuali
bayang-bayang samar
di tanah
setengah basah
dan menyaru
sebagai kisah
di ufuk, fajar
berbisik kepada angin,
“cahaya akan
hilang, seperti gema”
lalu ada yang mati
—mungkin kita
2023
Komentar
Posting Komentar