Puisi Esai; Kebaruan atau Paradoksalitas dalam Puisi Indonesia

oleh Dwi Rahariyoso

Dalam buku yang berjudul Puisi Esai; Sebuah Kemungkinan Baru Puisi Indonesia, yang merupakan berbagai ulasan terhadap karya-karya Denny JA, secara umum diperoleh gambaran pengantar memahami (isu) genre baru dalam dunia puisi mutakhir Indonesia, yaitu puisi esai. Aspek yang paling mendasar yang bisa dilihat secara kasat mata adalah bentuk. Pada wilayah ini, kita menjadi bertanya apa hubungan puisi dengan catatan kaki?[1] Denny mengatakan bahwa puisinya tak hanya memotret pengalaman batin individu tetapi juga konteks fakta realitasnya. Selanjutnya karya tersebut diupayakan tak hanya menggetarkan hati tetapi juga membantu pembaca lebih paham isu sosial di dunia nyata. Untuk kepentingan tersebut, maka catatan kaki dari berbagai sumber dirasa penting untuk menjadi bagian yang tidak dipisahkan dari teks puisinya.[2] Gambaran umum yang ditawarkan dalam puisi esai adalah menyajikan konsep dalam bentuk sastra yang mencampuradukkan unsur puisi, unsur prosa, dan unsur esai akademik yang berangkat dari tradisi ilmiah (memakai catatan kaki sebagai bukti nyata, atau aspek referensi faktualnya). [3]
Denny JA menulis lima sajak panjang dalam Atas  Nama Cinta dan memaklumkannya sebagai sebuah percobaan untuk memberi bentuk kepada suatu varian lain (baru) dalam puisi Indonesia, yang menggabungkan suasana batin tokoh liris dengan kondisi sosial sebagai konteks yang melahirkan suasana itu.[4] Secara umum bisa dilihat kecenderungan yang muncul dalam puisi-puisi karya Denny JA, bidang tematisnya yaitu diskriminasi yang mempunyai relevansi dan efek terhadap persoalan sosial yang ada di masyarakat. Persoalan sosial bukan merupakan fenomena yang baru dalam puisi Indonesia, penyair LEKRA dan juga Rendra telah memotret gejala ini dalam berbagai sajaknya. Prinsip kepenyairan LEKRA sangat jelas, yaitu menyingkirkan emosi pribadi dari puisi dan menggantinya dengan masalah sosial khususnya politik tentang perjuangan rakyat yang harus dimenangkan. Sedangkan Rendra melihat persoalan-persoalan sosial untuk kemudiakan diinternalisasikan sejauh mungkin sebagai masalah pribadinya, dan diungkapkan kembali sebagai keprihatinan dan keresahan personal. Pada wilayah inilah puisi ditakdirkan tidak sekedar sebagai reproduksi sosial, melainkan sebagai respon personal kepada berbagai masalah sosial yang dihadapi.[5]

Struktur dan bentuk Puisi Esai
Sebagai bagian mendasar yang akan mengantarkan pembaca kepada eksistensinya, yaitu perwujudan alias bentuk, maka perlu dilihat keseluruhan struktur yang ada dalam puisi esai. Kehadiran struktur sebagai bentuk yang memberikan gambaran “kebaruan” estetik atau juga “kebaruan” dialektik antara teks dengan makna, turut berkontribusi dalam menyampaikan aspek perkembangan puisi dari waktu ke waktu. Perkembangan tersebut akan terlihat dengan melakukan komparasi struktur dengan karya-karya sebelumnya. Karya-karya yang telah lebih dulu lahir dan menemukan formulasinya dalam pencapaian kebaruan estetis. Sebut saja yang paling fenomenal adalah puisi mantranya “Winka & Sihka” Sutardji dengan rancang bangun tipografisnya yang secara visual menggambarkan perjalanan dan alur berliku. Selain itu juga bentuk balada dalam sajak Balada Orang-Orang Tercinta, Rendra, juga bentuk prosa liris Linus dalam Pengakuan Pariyem. Struktur sebagai bagian mendasar mengantarkan pembacaan bentuk sebagai wilayah luar (eksternal) teks sebelum masuk ke wilayah substansi (internal) yaitu makna.
Dalam puisi esai, struktur menjadi bangunan utama yang akan memberikan perspektif suasana fisik (kesan) sepintas terhadap obyek yang kita lihat sebelum masuk ke dalamnya. Jika ditelaah secara struktural maka akan dilihat relasi yang saling berhubungan dalam bangunan fisik puisi esai, yaitu teks puisi dengan catatan kaki. Bentuk narasi dengan penyajian bait-bait yang lazim dalam puisi. Kata-kata yang lugas dengan rima atau persajakan. Relasi-relasi ini merupakan bentuk keterhubungan yang coba ditawarkan dalam puisi esai. Namun, secara menyeluruh bisa dilihat bahwa corak pola ini tidak atau belum berubah ke dalam sebuah estetika yang baru—penciptaan dan inovasi. Berikut kutipan dari salah satu puisi dengan judul “Sapu Tangan Fang Yin”:

Waktu itu usianya dua puluh dua
Terpaksa kabur dari Indonesia, negeri kelahirannya
Setelah diperkosa segerombolan orang
Tahun 1998, dalam sebuah huru-hara.
Apa arti Indonesia bagiku? bisik Fang Yin kepada dirinya sendiri.
Ribuan keturunan Tionghoa
1 meninggalkan Indonesia:
Setelah Mei yang legam, setelah Mei yang tanpa tatanan
Setelah Mei yang bergelimang kerusuhan.
2
...
(bagian I, bait 4 dan 5)
1.       Dalam puisi ini, kata Tionghoa dan Cina merujuk pada kelompok etnis yang sama. Tionghoa diekspresikan sebagai ucapan netral. Sedangkan Cina lebih merupakan “umpatan negatif” yang dilontarkan massa dalam kisah huru-hara.
2.       Tercatat sekitar 70.000 warga keturunan etnis Cina meninggalkan Indonesia pascakerusuhan Mei 1998 itu. Lihat, Ivan Wibowo (ed.), COKIN: So What Gitu Lho! (Jakarta: Komunitas Bambu-Jaringan Tionghoa Muda, 2008), h. viii. dalam Denny JA. 2012. Atas Nama Cinta: Sebuah Puisi Esai. Jakarta: Rene Books.

Catatan kaki dalam kutipan di atas menjadi bagian yang non-organis dari puisi. Konsep ini dipilih penulis untuk melukiskan perhubungan antara dunia-dalam dengan dunia-luar dalam sajak.[6] Catatan kaki memberikan referensi bagi pembaca untuk menemukan pemahaman dari diksi, metafor, dan konteks ruang lingkup sajak (teks) yang disajikan. Pembaca akan dimudahkan secara deskriptif menemukan narasi-narasi yang tersaji dengan bantuan catatan kaki, yaitu pintu terbuka antara teks dengan realitas. Catatan kaki hanyalah teknik yang digunakan untuk memberikan fasilitas tambahan, yang tidak merupakan konstitusional dari sajak yang ditulis.
Puisi-puisi yang menggabungkan fakta dan fiksi, dan melahirkan pembauran fakta-fiksi diharapkan mampu saling menguatkan. Catatan kaki dalam sastra, puisi, prosa bukan hal yang aneh. Dalam beberapa puisi balada yang ditulis Rendra, F. Rahardi, ataupun Linus Suryadi, catatan kaki mereka sudah “ditubuhkan” ke dalam keseluruhan teks puisi. Sedangkan dalam prosa Olenka, Budi Darma, catatan kaki dibiarkan sebagai glosari tersendiri di halaman belakang.[7] Catatan kaki pada puisi-puisi Denny JA adalah fakta. Fakta di sini disesuaikan dengan sumber peristiwa yang didukung oleh buku, atau media massa dengan kategori ilmiah. Fakta yang dicantumkan dalam catatan kaki secara sadar diposisikan sebagai wacana pendukung puisi agar lebih mudah dipahami (secara intertekstualitas) aspek-aspek yang termaktub di dalamnya. Aspek tersebut mengacu kepada berbagai isu sosial yang dibidik Denny sebagai bentuk “diskriminasi” yang muncul secara sensitif dalam kehidupan masyarakat.
Fenomena sosial menjadi bagian yang mendasar sebagai tema utama yang ditekankan dalam Atas Nama Cinta. Dalam puisi “Sapu Tangan Fan Ying” bagaimana diskriminasi dan kekerasan terhadap etnis Tionghoa dalam peristiwa Mei 1998 kembali dibangkitkan. Puisi “Romi dan Yuli dari Cikeusik” tentang percintaan pasangan beda paham, Ahmadiyah dan non-Ahmadiyah. Puisi “Minah Tetap Dipancung” bercerita tentang kisah seorang TKW di Arab yang diperkosa dan akhirnya dijatuhi hukuman karena membunuh majikan yang memperkosanya. Dalam “Cinta Terlarang Batman dan Robin” digambarkan bagaimana cinta pasangan homoseksual tidak bisa berlanjut hanya karena norma sosial yang berlaku. “Bunga Kering Perpisahan” berisi kisah tentang cinta pasangan beda agama yang masih terdiskriminasi secara sosial dan kultural. Isu-isu yang relevan ini dikemas sebagai sebuah tema diskriminasi dalam kacamata Denny JA. 

Ambivalensi; Bentuk dan Kebaruan
Bentuk puisi esai secara struktur tidak jauh berbeda dengan puisi yang lain, hanya saja mempunyai kecenderungan yang naratif (panjang) dengan disusun dalam bentuk baris-baris dan bait-bait dengan beberapa sub judul yang berkelanjutan. Selain itu, apa yang menjadi ciri utama (karakteristik) yaitu ditambahkannya catatan kaki sebagai sebuah keharusan yang niscaya dalam mendukung struktur teks. Dalam menulis karangan sastra, seorang sastrawan mengacu pada kaidah penulisan sastra yang relatif baku, seperti tema, alur penokohan, latar sudut pandang, dan sebagainya (bagi novel dan prosa). Sedangkan puisi yaitu tema, diksi, irama, enjambemen, majas, tipografi dan sebagainya. Penulisan ini tentunya mengarah pada konvensi sastra yang berlaku pada zamannya, meskipun pada akhirnya konvensi ini akan diikuti atau justru diberontak, hal tersebut sudah menjadi wilayah kreativitas pengarang.
Ambivalensi yang muncul dalam konsep puisi esai ini bermula dari bentuk puisi yang ditambahkan dengan catatan kaki (sumber referensi). Jika dalam puisi prosa atau balada, keberadaan catatan kaki tidak menjadi sebuah bagian yang harus dimunculkan secara konkret, melainkan ia sudah menyatu dalam satu wilayah, yaitu di tubuh puisi tersebut. Komposisi fakta penjelas yang dimaksudkan hadir sebagai penjabaran dari metafor, diksi, atau pesan estetik dari penyair justru menjadi satu bagian yang agak mengganggu karena terpisahkan dari teks. Sehingga kepentingan puisi esai secara menyeluruh akan sangat ditentukan (ketergantungan) pada catatan kaki—dalam konsep ini catatan kaki dipahami sebagai bagian yang krusial.[8]
Jika berpijak pada asumsi bahwa catatan kaki sebagai rujuan yang krusial (bahkan menjadi sentral) dalam puisi esai, maka yang menjadi pertanyaan adalah mana yang lebih penting? Puisi atau catatan kaki? Jika pengarang menitikberatkan pada puisi, secara otomatis catatan kaki di bagian bawah hanya menjadi bagian pelengkap jika boleh dikatakan figuran. Namun hal tersebut tentunya sudah bertentangan dengan asumsi yang dimaksudkan oleh Denny JA tentang kedudukan dan posisi catatan kaki. Sebaliknya, jika catatan kaki yang digunakan sebagai media pusat (sentral) dalam membaca puisi esai, maka hal tersebut akan menjadi getir. Bukankah sebuah puisi ditulis dengan format dan bentuk yang isinya berada pada teks utama (dominan) bukan pada teks samping (catatan kaki)? Secara strukural maka bisa dilihat sebuah proses ambivalen yang sedang terjadi. Catatan kaki yang menentukan pembacaan puisi.
Hal tersebut menjadi kontradiktif jika dikaitkan dengan tafsir dan intepretasi. Jika melihat asumsi yang muncul dan ditawarkan oleh Denny JA,[9] bagaimana ia mengaburkan konsep antara puisi dan esai dengan menggunakan perspektif yang ambigu. Keberpihakan posisi yang tidak jelas tersebut membawa kemungkinan bagian mana yang mungkin selalu ada (hilang) tidak bisa terbaca atau tidak dominan untuk ditonjolkan. Dalam penjelasan tersebut Denny JA mencoba berada pada posisi yang aman atau abu-abu, bukan puisi yang lazim dan juga bukan esai yang lazim melainkan hibrid. Komposisi ini menjadi semacam celah untuk membuka keretakan dan ambiguitas dari pemahaman puisi esai.
Jika puisi esai yang dimaksudkan adalah sekedar kolaborasi dan komposisi unsur-unsur yang ada dalam kedua bentuk puisi dan esai, maka letak dan oposisi keduanya harus tetap ditentukan. Apakah kondisi ini secara hierarkis menunjukkan satu sisi dominan terhadap aspek lainnya. Meminjam konsep dekonstruksi Derrida, oposisi biner yang muncul dalam konsep puisi esai ini, apakah menjadi peluang kebaruan yang menggugah kontinyuitas (perkembangan) bentuk puisi atau sekedar eksperimen sementara dan selanjutnya tenggelam? Secara umum, konsep peleburan antara puisi sebagai fiksi dan catatan kaki sebagai fakta seolah mencoba membenturkan dua hal yang begitu bertolakbelakang. Jurang yang terjal. Namun sebagai bentuk, kolaborasi ini menjadi satu tawaran yang masuk akal untuk diapresiasi, meskipun masih membutuhkan perumusan dan penentuan komposisi materinya.

Bahasa
Selanjutnya, bahasa yang diharapkan dari puisi esai ini adalah bahasa yang mudah dipahami.[10] Puisi diartikan sebagai sebuah medium komunikasi. Dalam penulisan puisi esai ada harapan bahwa puisi harus dituliskan dengan bahasa yang deskriptif, sehingga pesan kepada pembaca tersampaikan secara lugas. Jika kisah ditulis dalam bahasa yang sulit, walaupun dengan nama “pencapaian estetik bahasa” hal tersebut dikatakan melawan spirit puisi esai.[11] Puisi esai ingin mengubah konsep puisi agar mudah dipahami oleh publik luas, pencapaian estetik tidak harus dengan bahasa yang sulit. Pernyataan ini menjadi satu hal yang kontradiktif dengan keberadaan puisi. Sebagai karya sastra yang relatif mengalami pemadatan bentuk dan makna, maka bahasa menjadi faktor utama untuk menyampaikan media tanpa dibatasi bentuk—baik bentuk yang sederhana maupun bentuk yang rumit (sulit). Dalam puisi esai terjadi kecenderungan yang melihat karya puisi dari wilayah bentuk bukan kepada esensi. Tidak semua bahasa mewakili makna atau pesan sebagai tujuan yang tersirat, begitu juga dalam puisi. Puisi yang berhasil adalah puisi yang mampu dialami oleh masing-masing pembacanya sebagai pengalaman batin, tanpa harus melihat varian bentuk yang tervisualisasi melalui pilihan diksi, metafor, atau kata-kata. Pada akhirnya puisi esai hanya akan mendeskripsikan dirinya sendiri sebelum ia lahir, dengan acuan konsep dan bentuk yang sudah harus menjadi prasayarat penciptaannya. Hal tersebut kiranya akan membebani perjalanan kelahiran sebuah puisi secara alami. 
Kebaruan yang diharapkan muncul di dalam puisi esai ini sebenarnya tidak terjadi.  Puisi panjang dan naratif (prosais) sudah banyak dituliskan dalam khazanah kesusastraan Indonesia, bahkan Nusantara termasuk dalam karya-karya sastra lama, seperti kakawin, syair, dan sebagainya. Hal tersebut sepertinya menjadi satu inspirasi bagi kontinyuitas puisi esai yang direproduksi oleh Denny JA. Jika mau merujuk secara sekilas seperti terdapat dalam karya Linus Suryadi, Pengakuan Pariyem, WS Rendra dalam Balada Orang-Orang Tercinta, Ajip Rosidi, Taufiq Ismail dan lain sebagainya. Para pendahulu tersebut tentu saja tidak menyertakan catatan kaki sebagai bagian yang mendukung, namun aspek faktual yang menjadi fenomena sosial sudah langsung termaktub secara utuh dalam tubuh puisi. Berbeda dengan apa yang disampaikan dalam puisi esai, fenomena sosial yang menjadi isu penting dituliskan dengan berbagai rujukan yang menghidupkan teks puisi lebih ke wilayah referensial.
Intertekstualitas dalam karya ini menarik jika secara keseluruhan diterapkan untuk menemukan proses perkembangan dan kehadiran puisi esai, karena akan menghasilkan dua hal mendasar, yaitu interteks terhadap realitas dan interteks terhadap karya. Namun keduanya mempunyai kelemahan asumsi yang menunjukkan bahwa konsep “kebaruan” dalam puisi esai hanyalah reproduksi atas konsep yang sudah ada dari karya-karya sebelumnya. Interteks dengan realitas sosial (isu keragaman/pluralitas) secara tematis sudah pernah dibahas dalam sajak-sajak balada karya Rendra, Linus. Jadi secara konsep tema, sudah bukan hal yang baru lagi, meskipun Denny JA mengukuhkan isu diskriminasi sebagai fokus pondasi utama yang spesifik.
Selanjutnya jika dikaitkan-hubungkan dengan karya Linus Suryadi, Pengakuan Pariyem, maka secara interteks karya-karya dalam puisi esai mempunyai bentuk dan pola yang juga relatif sama. Kreativitas yang muncul dalam puisi esai hanya kepada perbedaan catatan kaki. Namun, jika disandingkan dengan salah satu karya dalam puisi esai, “Minah Tetap Dipancung” makan akan terlihat benang merah kemiripannya. Pengakuan Pariyem berbicara mengenai seorang perempuan Jawa polos dari kampung yang menjadi pembantu rumah tangga. Tokoh Pariyem sama-sama tertindas dan diperkosa oleh majikan, seperti dalam tokoh Minah dalam puisi “Minah Tetap Dipancung”. Perbedaan teknis adalah setting lokasi, yaitu Pariyem berada di  dalam negeri sedangkan Minah berada di luar negeri.
Fakta dan fiksi dalam puisi esai menjadi relasi yang penting, karena keberadaan keduanya didukung oleh catatan kaki. Fiksi harus didasarkan pada fakta atau kenyataan sosial. Sedangkan fiksi tidak boleh mengawang-awang di langit imajinasi belaka, melainkan harus dikaitkan langsung dengan kenyataan sosial.[12] Hubungan simbiosis ini yang menjadi titik temu dalam melihat keberadaan puisi esai. Bagaimana sebuah fakta sosial tetap menjadi yang utama meskipun dileburkan dalam bentuk yang puitis. Konsep ini secara empiris memberikan pemahaman bahwa puisi yang dituliskan dalam keseluruhan teks dengan tema tertentu hanya menjadi baju dalam menyampaikan pesan pengarang sebagai ilmuwan sosial.
Ada upaya mempertahankan kedudukan antara fakta dengan fiksi dalam puisi esai. Upaya yang dilakukan adalah dengan menambahkan catatan kaki untuk menjaga konsistensi dan eksistensi fakta yang menjadi pesan dalam berpuisi. Namun secara esensi apa yang ingin ditawarkan dan dimunculkan Denny JA dalam puisi esai adalah sebuah eksplorasi pengukuhan bentuk bukan sebuah estetika baru dilihat dari segi variasi dan komposisinya. Secara keseluruhan tidak ada yang baru dalam sisi penciptaan puisi esai yang dituliskan oleh Denny JA, melainkan hanya melakukan reproduksi (pengulangan) estetika lama dengan menambahkan catatan kaki yang memengaruhi perubahan bentuk puisi—selain bentuk naratifnya yang panjang. Sehingga tidak muncul kebaruan seperti yang diduga selama ini, selain sebuah kemungkinan yang “dirasa baru”.
Dalam wilayah penyair pengalaman partikular yang muncul melalui teks puisi merupakan bagian yang mewakili dari intuisi karena mengalami dan menemukan sebuah fenomena (baik sosial maupun batin). Dalam puisi fakta (sosial) bersifat sekunder. Bagian utama (primer) adalah fiksi, imajinasi dan terutama bahasa sebagai alat artikulasinya dalam menanggapi fakta (sosial).  Bukan berarti sastrawan tidak melakukan riset seperti yang disyaratkan dalam platform puisi esai.[13] Riset yang dilakukan harus ditunjukkan keabsahannya dengan catatan kaki yang membenarkan (baik dari segi konteks, latar, maupun kondisi sosial). Realitas ini menjadi studi yang menarik sebenarnya, ketika imajinasi harus dikomposisikan dengan data. Dalam artian bahwa tidak diperkenankan puisi esai hanya menyuguhkan fantasi (imajiner yang sifatnya rekayasa) tanpa acuan sosial historisnya. Tentu saja hal tersebut menimbulkan kerancuan perspektif. Sebaliknya juga, bagaimana data yang diperoleh itu dipaksakan menjadi karya sastra dalam bentuk puisi?
Kedua konsep ini coba diselaraskan dalam puisi esai yang menawarkan pertemuan antara keduanya. Komposisi yang diharapkan bisa menjadi lebih “sempurna” dari sisi subyektivitas bentuk dan obyektivitas isinya. Secara psikologis kemenduaan ini diterima begitu saja tanpa mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan yang ada sebagaimana kecenderungan yang telah ada bahwa puisi tidak bisa dipaksakan sebagai gejala sosial, ia juga merangkum wilayah personal, partikular yang selalu memunculkan “cita rasa” atau selera berlainan dari setiap penyair maupun  pembacanya. Fakta dan fiksi yang disandingkan dalam porsi yang sama secara mutlak tidak akan menjangkau pada wilayah estetika puisi, yaitu tujuan puisi. Meskipun konsep ini terasa ambigu, namun menarik untuk dibicarakan. Tujuan yang dimaksudkan adalah bagaimana kedudukan puisi esai mampu seimbang dalam menyajikan porsi (titik fokus) antara fakta dan fiksi, cerita dengan berita. Kedua aspek ini secara tidak langsung akan terpengaruh oleh subyektivitas penyair yang sangat partikular dalam melihat fenomena sosial.
Bagian lain yang perlu dicermati adalah bahasa. Secara konvensional, puisi sangat mengandalkan metafor/diksi karena bangunan puisi mempunyai konstruksi yang berbeda dengan bentuk prosa atau novel. Pemilihan diksi dan bahasa yang dirasa padat dan efektif dalam puisi esai justru tidak muncul. Bahasa cenderung lepas, deskriptif, dan lugas. Bahasa seolah dibebaskan kepada narasi, melawan kepadatan dan kerumitan yang lazim. Bahasa yang baik dalam konsep puisi esai adalah bahasa yang membentuk pemahaman secara jelas, bukan gelap seperti dicetuskan dalam “puisi gelap” oleh Ajip Rosidi, Wiratno Sukitno, dan Iwan Simatupang.[14] Konsep  postrukturalisme dan posmodernisme sudah mengambil sikap  bahwa bahasa tidak pernah selesai. Tidak otonom dan tidak mutlak. Ia selalu meninggalkan jejak dalam setiap pembacaannya. Barangkali semangat ini yang coba digagas oleh Denny JA, meskipun sebagai konsep yang relatif baru belum bisa dicermati pengaruh dan capaian estetikanya.
Secara umum dari pembahasan selayang pandang terhadap konsep puisi esai, ditemukan tidak adanya kebaruan baik dari aspek estetis maupun struktur bentuknya. Konsep puisi esai masih mempunyai keterikatan dengan medium struktur dan fenomena yang pernah ada sebelumnya, yaitu berbentuk prosa lirik atau puisi naratif yang mengangkat kecenderunga tema sosial. Meskipun ada sedikit “cita rasa” baru yang ditekankan penyairnya dalam format penulisan, yaitu catatan  kaki. Catatan kaki belum bisa memengaruhi kedudukan puisi secara struktural, untuk mengacu kepada bentuk atau genre baru yang diharapkan. Puisi esai masih terjebak dalam varian yang sama. Usaha dalam rangka mendobrak kebuntuan berekspresi belum mampu menciptakan gairah yang utuh, dalam perkembangan puisi Indonesia mutakhir.  

Daftar Pustaka
Al-Fayyadl, Muhammad. 2006. Derrida. Yogyakarta: LKiS
JA, Denny. 2012. Atas Nama Cinta: Sebuah Puisi Esai. Jakarta: Rene Books.
Sarup, Madan. 2011. Panduan Pengantar untuk Memahami Postrukturalisme & Posmodernisme. Yogyakarta: Jalasutra
Zamzam Noor, Acep (ed). 2013. Puisi Esai, Kemungkinan Baru Puisi Indonesia. Jakarta: Jurnal Sajak
          2013. Dari Rangin ke Telepon. Kumpulan Puisi Esai. Jakarta: Jurnal Sajak



[1] Lihat Sapardi Djoko Damono, “Memahami Puisi Esai Denny JA”, dalam Puisi Esai Kemungkinan Baru Puisi Indonesia, hlm 76. Jakarta: Jurnal Sajak. 2013
[2] Ibid.
[3] Lihat “Catatan Sekilas Puisi Esai Denny JA”, dalam Puisi Esai Kemungkinan Baru Puisi Indonesia, hlm. 93, Jakarta: Jurnal Sajak. 2013
[4] Ignas Kleden, “Menghadapi Diskriminasi dengan Puisi” dalam Puisi Esai, Kemungkinan Baru Puisi Indonesia. hlm.59 Jakarta: Jurnal sajak. 2013
[5] Ignas Kleden, “Menghadapi Diskriminasi dengan Puisi” dalam Puisi Esai, Kemungkinan Baru Puisi Indonesia. hlm.59-60, Jakarta: Jurnal sajak. 2013.
[6] Ignas Kleden, “Menghadapi Diskriminasi dengan Puisi” dalam Puisi Esai, Kemungkinan Baru Puisi Indonesia. hlm.66, Jakarta: Jurnal sajak. 2013
[7] Lihat Arie MP Tamba, “Semiotika Sapu Tangan”, dalam Puisi Esai Kemungkinan Baru Puisi Indonesia, hlm 126-127. Jakarta: Jurnal Sajak. 2013
[8] Lihat Dennny JA, “Catatan kaki menjadi sentral dalam puisi esai. Catatan kaki ini menunjukkan bahwa fiksi ini berangkat dari fakta sosial. Jika pembaca ingin tahu lebih detail soal fakta sosial itu bisa mengeksplor lebih detail melalu catatan kaki itu. Fungsi catatan kaki itu tidak sekedar aksesori atau gaya saja, tetapi bagian sentral puisi esai.” dalam “Puisi Esai, Apa dan Mengapa? Puisi Esai, Kemungkinan Baru Puisi Indonesia, hlm. 4 2. Jakarta: Jurnal Sajak. 2013
[9] “Saya sebut medium baru ini puisi esai. Yaitu puisi yang bercitarasa esai. Atau esai tentang isu sosial yang puitik yang disampaikan secara puitis. Ia bukan puisi yang lazim karena ada catatan kaki tentang data dan fakta di sana dan di sini, serta panjang dan berbabak. Ia juga bukan esai yang lazim karena dituliskan dengan larik, puitik  dan lebih mengeksplor sisi batin.” (Denny JA, 2012:3)
[10] Lihat Denny JA, “Puisi Esai, Apa dan Mengapa?” dalam Puisi Esai, Kemungkinan Baru Puisi Indonesia, hlm, 40. Jakarta: Jurnal Sajak. 2013.
[11] Lihat Denny JA, “Puisi Esai, Apa dan Mengapa?” dalam Puisi Esai, Kemungkinan Baru Puisi Indonesia, hlm, 40. Jakarta: Jurnal Sajak. 2013
[12] Lihat Jamal D. Rahman, “Percobaan Seorang Ilmuwan Sosial”, dalam Puisi Esai, Kemungkinan Puisi Baru Indonesia, hlm. 158. Jakarta: Jurnal Sajak, 2013.
[13] Lihat Denny JA, “Apa dan Mengapa Puisi Esai?”, dalam Kemungkinan Baru Puisi Indonesia. hlm, 42. Jakarta: Jurnal Sajak. 2013
[14] Lihat Firman Venayaksa, “Ngalor-Ngidul Menggemasi Puisi Esai Atas Nama Cinta”, dalam Puisi Esai, Kemungkinan Baru Puisi Indonesia. hlm. 135. Jakarta: Jurnal Sajak. 2013




Komentar

Postingan Populer