Sastra, Kritik Sastra, dan Orientasi Kelisanan
Gagasan awal yang menjadi pokok pemikiran dalam menuliskan
makalah ini terutama terinspirasi dari materi diskusi Seminar Nasional
Kesastraan[2], tentang keberaksaraan atau budaya literasi. Dalam konteks
masyarakat lisan kata-kata menjadi tidak penting, melainkan lebih menekankan
kepada siapa yang mengucapkan kata-kata tersebut. Dalam masyarakat beraksara,
tulisan menjadi aspek yang cukup dominan. Perbedaan karakteristik kedua dimensi
ini menjadi satu hal yang cukup menarik untuk dikaitkan dengan kondisi
kesastraan kita dewasa ini. Mengapa demikian? Hal tersebut bisa kita lihat dari
berbagai corak yang muncul pada karya-karya sastra Indonesia modern kita. Sastra
berdiri di antara lisan dan tulisan, di antara bunyi dan makna. Maksudnya
adalah ia hadir menghimbau bunyi dengan tulis, sehingga dalam tulisan tersebut
ada jejak kelisanan yang membekas. Asumsi tersebut menunjukkan bahwa teks yang
bernama sastra tidak melepaskan konteks. Melalui sifatnya yang demikian maka
sastra menjadi mendua, sebab ia tidak hanya menjelaskan apa yang ada secara
tertulis melainkan juga menghadirkan yang (melampaui) di luar teks. Relasi
antara teks dengan konteks dalam kesastraan, secara empirik merupakan sebuah
kecenderungan yang pada akhirnya memosisikan sastra sebagai perantara yang
bersifat transisional, yaitu mengantarkan kelisanan ke keberaksaraan. Meskipun
dalam perkembangan kesastraan Indonesia modern, fenomena-fenomena kelisanan cenderung
menjadi suatu praktik yang membentuk relasi intersubjektif antara pengarang
dengan pembaca atau masyarakatnya sehingga menghadirkan idola-idola yang
populer sekaligus terpercaya.
Apa yang hendak kita pahami dalam pembuka tulisan ini
adalah fenomena-fenomena kelisanan yang ‘membumbui’
perkembangan kesastraan Indonesia modern, yang kemudian hendak dikaitkan dengan
praktik-praktik kritik sastra. Pola-pola kelisanan dalam kesastraan kita secara
umum mengindikasikan adanya pengaruh (jejak lisan) dari kebudayaan yang
melatarbelakanginya. Dalam tulisan sederhana ini akan dipaparkan
kemungkinan-kemungkinan yang muncul beserta implikasinya bagi perkembangan
dunia kritik sastra kita dewasa ini. Sebelum itu terlebih dulu akan dipaparkan
kodrat keberadaan karya sastra, sebagai sebuah orientasi awal tentang fakta
karya sastra.
Sastra dan Kodrat
Keberadaannya
Sebagaimana yang dituliskan Faruk[3] bahwasanya karya sastra dibangun atas hubungan antara
tanda dan makna, antara ekspresi dengan pikiran, antara aspek luar dengan aspek
dalam. Pernyataan tersebut cukup menarik jika ditinjau kembali korelasinya
dengan ulasan di atas perihal sifat kemenduaan sastra. Dalam situasi ini, maka
apa relasi teks dengan konteks sebagaimana yang dimaksudkan di atas bisa terhubung
secara samar. Melalui kondisi keberadaan yang menjadi ciri dasarnya tersebut,
karya sastra secara tegas sudah mengacu kepada suatu bentuk fakta yang hadir
dalam upayanya menjelaskan kondisi kemanusiaan melalui aspek-aspek atau tanda kebahasaan
di dalamnya. Sebagai fakta kemanusiaan, karya sastra adalah ekspresi dari
kebutuhan tertentu manusia. Pada sisi yang lain, tanda dalam katra sastra
secara lahiriah merupakan manifestasi dari simbol yang bisa dijelaskan sebagai
fakta semiotik. Dalam pemaparannya tentang fakta semiotik ini, Faruk[4] menjelaskan konsep eksistensi ganda, yaitu sekaligus
berada dalam dunia inderawi (empirik) dan dunia kesadaran (consciusness) yang
nonempirik. Berdasarkan pengertian tersebut, aspek empirik karya sastra adalah tulisan atau bunyinya.
Tulisan dan bunyi tersebut dapat dialami oleh indra manusia sehingga mampu
menunjukkan ciri atau pola yang secara karakteristik bisa dikenali atau
diklasifikasikan. Dapat dipahami bahwa aspek empirik ini adalah perwujudan
jasmaniah dari karya sastra yang termaktub dalam dimensi tulisan atau bunyi.
Selanjutnya aspek nonempirik dari karya sastra adalah
makna. Makna dihasilkan oleh sistem bahasa yang secara konvensional meresap ke
dalam kesadaran manusia. Melalui kesadaran yang menaungi diri manusia ini, maka
terciptalah proses pemaknaan dari medium bahasa atau bunyi yang empirik. Hubungan
antara kesadaran dengan makna ini secara umum dipengaruhi oleh kesadaran
individual dan kesadaran kolektif. Menempatkan makna dalam kesadaran
individual, kita bisa mengacu kepada eksistensi pengarang. Sebagai seorang
individu, pengarang memroduksi makna yang diseleksinya dari penggunaan sistem
tanda bahasa. Proses ini pada dasarnya hendak menunjukkan bahwa seorang
pengarang sebagai individu memiliki karakteristik yang unik dalam menghasilkan
karya. Formulasi serta wujud dari karya tersebut (secara umum) bisa dibedakan
dengan ciri-ciri yang melekat kepadanya.
Pengaruh berikutnya adalah kesadaran kolektif, merupakan sistem
konvensi yang bernaung dalam konsep pikiran obyektif dari suatu komunitas atau
kelompok pengguna sistem kebahasaan tertentu. Sistem konvensi tersebut mampu
mengakomodir interaksi antara masing-masing anggota masyarakatnya. Semacam
kesepakatan bersama telah menaungi dan mengikat keberadaan masing-masing
anggota satu sama lain untuk berinteraksi melalui perangkat konvensi yang sama.
Kesadaran kolektif dengan demikian menuntut pengetahuan atau wacana tentang
aspek-aspek yang termaktub dalam sistem konvensi di masyarakat, misalnya kebahasaan,
kebudayaan, kesastraan, dan juga kesadaran individual itu sendiri. Sampai di
sini, bisa disimpulkan bahwa fakta semiotik yang diuraikan di atas mencoba
menegaskan kondisi karya sastra sebagai sistem tanda yang membangun makna melalui
sistem kesadaran (bahasa dan kebudayaan)
yang digunakan masyarakatnya. Melalui kondisi yang demikian, perlu juga
dicermati bahwa karya sastra tidak hadir sebatas untuk dirinya sendiri atau
sekadar membangun makna itu sendiri. Sebagai suatu fakta kemanusiaan karya
sastra merupakan struktur yang berarti (significant structure)[5]. Struktur dalam konteks di sini berupa relasi yang
menghubungkan antara manusia dengan dunianya, sebagai suatu ikatan yang tidak
bisa terpisah dengan realitas yang hadir dalam kehidupan. Karya sastra menjadi
penting untuk dipahami, sebab melalui karya sastra pembaca bisa menemukan
bermacam kondisi dan tujuan yang muncul sebagai bayangan dunia. Citra dan
ekspresi yang termaktub dalam wujud kelompok-kelompok masyarakat (norma,
aturan, adat, atau kebudayaan) inilah yang menjadi fokus utama dalam fakta
kemanusiaan. Dalam posisi ini, subjek karya sastra bukanlah individu, melainkan
kelompok. Berdasarkan uraian di atas, kodrat keberadaan karya sastra didukung
oleh fakta semiotik dan fakta kemanusiaan, dimana kedua fakta tersebut saling
memberikan kontribusi relasional sebagai suatu sistem epistemologis. Karya
sastra dengan demikian bisa ditinjau sebagai bentuk yang otonom (tekstual) sekaligus
terhubung dengan ruang dan waktu tertentu dalam kebudayaan masyarakatnya
(kontekstual).
Fenomena Kelisanan,
Keberaksaraan, dan Kritik Sastra
Pertanyaan yang cukup signifikan atas pemaparan di atas
adalah apa korelasi konkret kelisanan terhadap kondisi kritik sastra?
Pertanyaan ini sebenarnya membutuhkan jawaban yang tidak mudah, namun kiranya
perlu kita coba dengan membangun asumsi-asumsi positif atas fakta-fakta
tersebut secara koherensif. Kelisanan sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat
di era modern, belum bisa ditinggalkan sepenuhnya dari jati diri dan laku
kehidupan bangsa Indonesia. Betapa tidak, situasi melek aksara dalam hal ini
mampu membaca dan menulis secara formal, pada kenyataannya belum bisa menjadi
tolok ukur bagi terciptanya budaya literasi. Budaya literasi masih menjadi
angan-angan yang terus-menerus diusahakan melalui berbagai kegiatan dan iming-iming. Kepandaian membaca
seseorang yang bahkan sudah memiliki tingkat pendidikan tinggi di negara kita,
belum secara ketat membiasakan dirinya dalam tradisi membaca sebagai proses memperoleh pengetahuan. Proses pemerolehan
pengetahuan masih bersifat atau berpola kelisanan, ditambah lagi dengan
kehadiran media elektronik seperti televisi dan radio[6], pola-pola kelisanan hadir untuk menyatukan secara sosial,
mengakrabkan. Kenyataan ini menjadi sebuah bukti bahwa masyarakat Indonesia
yang bergerak ke arah modern dewasa ini, secara sosial masih memosisikan
tradisi kebersamaan, keakraban, pertemuan, dan interaksi satu sama lain sebagai
wujud dari persatuan sosial. Pada situasi inilah, aspek kelisanan dalam
kebudayaan semakin diperkuat.
Bagi masyarakat dengan kebudayaan lisan yang masih kuat, hal
tersebut tentu saja merupakan suatu fenomena yang lazim terjadi. Sifat komunal
dalam mewujudkan suatu relasi sosial yang kuat dan intensif, secara hegemonik merupakan
tujuan bersama. Konsekuensi yang muncul terhadap situasi tersebut juga melanda
dunia pendidikan. Bahwasanya mode pendidikan yang hadir dalam dunia akademik,
tidak luput dari praktik dan proses kelisanan, khususnya dalam penyampaian
pengetahuan secara lisan. Kondisi tersebut bisa dicermati melalui kecenderungan
yang signifikan terhadap gaya penyampaian lisan yang dominan. Praktik dan
proses kelisanan tersebut secara masif menjadi habitus, yang mengarahkan
peserta didik dan mahasiswa memosisikan mereka (guru dan dosen) sebagai pusat
informasi terpercaya. Dalam situasi ini, guru atau dosen, menjadi bagian yang
identik memberikan informasi sesuai dengan pola di tradisi lisan, yaitu melalui
bentuk-bentuk formulaik, skema-skema, dan konsep yang mudah dihafalkan[7]. Orientasi kelisanan inilah yang menjadikan proses memeroleh
pengetahuan pada akhirnya lebih kepada suatu praktik menghafal yang formal dan
bukan memahami esensi yang terkandung dalam keilmuan tersebut. Kemungkinan
selanjutnya adalah upaya mengekalkan “jejak” pertemuan secara harfiah tersebut
menjadikan siswa atau mahasiswa apatis dalam mencerna pengetahuan yang
hadir dari wilayah keilmuan. Kendati
demikian, proses semacam ini sudah begitu masif menggejala di sekolah maupun
perguruan tinggi, sehingga penghafalan yang terjadi (misalkan diktat) pada
akhirnya menyebabkan pembekuan dan fosilisasi
pengetahuan.
Dalam masyarakat dengan orientasi kelisanan, tulisan
menjadi acuan kedua setelah kata-kata dan ucapan dari sang guru atau dosen.
Figur atau sosok sebagai representasi
dari pusat pengetahuan lebih diutamakan untuk mendukung tercapainya pengetahuan
secara harfiah. Melalui formula-formula (kata-kata, skema, potongan-potongan
informasi) yang diulang-ulang oleh dosen kepada mahasiswa, pada akhirnya
mahasiswa tidak berusaha untuk berpikir mandiri dalam usahanya menemukan satu
fenomena mendasar atas sebuah persoalan yang hendak ditelitinya. Ketergantungan
ini merupakan wujud dari orientasi kelisanan yang dominan. Mahasiswa memosisikan
diri sebagai objek yang menerima segala informasi dari sosok atau figur yang
dipercayai, tanpa melakukan komparasi atau pembacaan kritis atas suatu
pengetahuan secara komprehensif. Kelemahan dari sistem pengetahuan yang
dihafalkan di atas menyebabkan minimnya daya kembang dan nalar kritis bagi
mahasiswa dan siswa di wilayah akademik.
Pada wilayah yang lain, keberaksaraan dalam masyarakat
dengan kebudayaan membaca memiliki konsekuensi individualisasi yang sangat
kuat. Konsekuensi tersebut muncul sebagai akibat dari proses membaca (melihat)
yang dibedakan dari proses mendengar. Kebudayaan lisan mengutamakan suara
sebagai sarana komunikasi yang penting. Suara dalam hal ini langsung disambut
oleh telinga melalui bunyinya, yang bersifat menggabungkan, mempersatukan, dan
harmoni. Penglihatan dalam hal ini dikategorikan mengasingkan, sebab
penglihatan mengidentifikasi secara visual atau wujud dari sebuah objek yang nampak
jelas, dan terarah. Misalkan dalam situasi membaca teks yang sama, terjadi
proses pemecahbelahan informasi sebagai akibat perbedaan orientasi, pemahaman,
dan penghayatan. Penglihatan dengan demikian memiliki kecenderungan memecahbelah,
mengasingkan, dan mengindividualisasikan, sedangkan suara mempersatukan,
memadukan, dan mengelompokkan.
Orientasi kelisanan sebagaimana disebutkan di atas, juga
memengaruhi dunia kesastraan kita dewasa ini. Dalam perkembangannya, ke-formulaik-an yang menjadi representasi
dari sifat kelisanan juga muncul dalam relasi antara pengarang dengan pembaca.
Pengarang yang menuliskan karya sastra lebih diutamakan sebagai pusat informasi
daripada karya yang ditulisnya. Karya sastra dalam hal ini tidak dimaksudkan
untuk ditelaah secara kritis melalui penalaran logis dan metodologis sekaligus
membangun relasi atas kodrat keberadaannya, melainkan lebih sebagai artefak
yang secara arkeologis menjadi totem,
disakralkan dengan berbagai mitosnya. Mengapa hal ini bisa terjadi? Supremasi
dari figur pengarang yang otoriter dan dominan dalam kancah kesastraan
menyebabkan terjadinya pergeseran orientasi tersebut. Orientasi terhadap budaya
kelisanan yang kuat menyebabkan pengarang dalam hal ini menjadi pusat dari
segala informasi yang ditulisnya secara sahih. Bukan apa isi karya itu,
melainkan siapa yang menuliskan karya itu. Konsekuensi yang terjadi atas
fenomena ini adalah kesastrawanan dilegitimasi sedemikian masif, melampaui
teks.
Sebagai contoh pergelaran-pergelaran sastra yang diadakan.
Sosok sastrawan atau pengarang ditampilkan untuk berbicara atau membacakan
karyanya dalam dimensi interaktif. Pergelaran ini sebenarnya adalah upaya
kembali membangkitkan orientasi kelisanan yang menyatukan dan memadukan antara
suara dengan tulisan, pengarang dan pembacanya. Sebuah pergelaran bertujuan
mendengarkan, menghayati, menikmati suara dari sastrawan yang membacakan
karyanya, sehingga mampu memunculkan orientasi sosial pada kebersamaan,
kolektivitas yang hangat. Kenyataan tersebut menjadi suatu bukti bahwa budaya
lisan masih memberikan pengaruh yang masif, suara masih dominan daripada
kata-kata yang tertulis atau tercetak, dan tentu saja penetapan legitimasi
secara sahih sekaligus berwibawa dalam sebuah pergelaran yang memukau[8]. Fenomena tersebut telah mengukuhkan posisi sastrawan
secara hierarkis dalam hubungannya dengan karya yang ditulisnya. Kecenderungan
yang demikian ini sudah disinggung sekilas di pembuka awal karangan, sebagai
suatu bentuk kelisanan kedua, sastrawan memosisikan dirinya sebagai idola baru.
Relasi antara pengarang dengan pembaca inilah yang cukup
penting dilihat dalam praktik kritik sastra. Kenapa demikian? Popularitas atau
figur seorang pengarang merupakan modal sosial dalam rangka mencapai posisi
“mapan”. Mapan dimaknai sebagai sosok yang berwibawa, mutlak, dan melampaui
teks. Teks yang terlampaui dalam kasus tulisan ini dimaksudkan sebagai realitas
atau fakta pendukung (kedua), setelah pengarang atau sastrawan tersebut.
Singkatnya, teks hasil karangan perlu diuji kesahihannya dengan menanyakan
langsung kepada sastrawan tersebut. Fenomena ini menunjukkan bahwa orientasi
kepada sosok atau figur (siapa/bicara) lebih dominan dibandingkan kepada
substansi yang terkandung dalam karya (apa/teks). Jika kondisinya demikian,
maka posisi kritik sastra terhadap karya tidak lagi memegang validitas
epistemologis dengan mengedepankan berbagai fakta yang melatarbelakangi kodrat
keberadaan karya sastra tersebut. Dalam artian bahwa karya sastra perlu
dipahami secara menyeluruh berdasarkan kondisi dan juga kodrat yang termaktub
di dalamnya (ontologis dan epistemologis) untuk mencapai pada logika pemahaman
estetiknya. Hal ini jika kita berandai-andai untuk menguliti fenomena-fenomena
yang muncul dalam karya sastra secara keilmuan. Apabila yang hendak kita
selidiki adalah wilayah kreativitas atau
penciptaannya, tentu saja paparan di atas ini bisa jadi tidak terpakai sama
sekali.
Kritik Sastra di Jambi
dan Ruang Akademik
Membicarakan kritik sastra
dalam dimensi akademik, kita perlu menilik ulang basis akademik dari mode
pengajaran sastra yang ada. Suatu ketika penulis pernah berbicara dengan Joko
Pinurbo tentang fenomena kritik sastra, penelitian sastra, dan tugas akhir
mahasiswa dalam ruang lingkup akademik. Sebagai seorang penyair Indonesia
modern, karya-karya puisi Joko Pinurbo sudah banyak melahirkan sarjana sastra
dari berbagai kampus di seluruh Indonesia. Beberapa hal yang cukup
menggelisahkan dari pembicaraan tersebut adalah mayoritas (skripsi) mahasiswa
yang pernah meneliti karya-karya puisinya, merepotkan. Betapa tidak, ketika
melakukan penelitian, para mahasiswa tersebut membuat sejumlah pertanyaan atas
sejumlah data (fenomena) yang hadir dalam karya-karya puisi Joko Pinurbo.
Pertanyaan tersebut alih-alih diserahkan ke responden (dalam hal ini jika
menggunakan pendekatan resepsi, misalnya), justru ditujukan ke penyairnya.
Dalam kondisi ini, penyair menjadi objek sekaligus subjek yang melampaui
teksnya. Lebih mencengangkan lagi adalah pertanyaan yang sangat klise dan
menyedihkan, misalkan apa makna puisi ini? atau apakah maksud dari metafor ini?
dan seterusnya.
Berdasarkan
fenomena di atas, kita bisa menduga ada banyak kemungkinan yang menjadi
penyebab terjadinya kondisi tersebut. Sebut saja ada permasalahan yang terjadi
dengan mode pembelajaran dan pengajaran sastra secara akademik. Orientasi
keilmuan yang diberikan dalam kuliah sastra belum sepenuhnya menjawab kemampuan
mahasiswa secara empirik maupun konseptual dalam melakukan analisis.
Kemungkinan lain, bahwa mahasiswa sastra tidak sepenuhnya mengerti teori,
metode, dan juga hakekat dari karya sastra. Atau bisa juga bahwa mahasiswa
lebih percaya jika menanyakan langsung ke pengarangnya sebagai suatu kepastian
yang sah, baku, terpercaya, dan seterusnya. Kemungkinan terakhir tersebut
menunjukkan orientasi kelisanan yang memengaruhi daya pikir kritis mahasiswa
sebagai seorang peneliti dalam wilayah akademik. Persepsi lain yang mungkin muncul
dan menjadi problematika mendasar adalah minimnya bentuk-bentuk pengembangan
teori, metode, filsafat, maupun kebaruan wacana dalam mengkaji karya sastra. Sebagaimana
yang sudah diulas di atas, bahwa salah satu kodrat keberadaan karya sastra
adalah fakta kemanusiaan. Fakta kemanusiaan ini bisa dipahami sebagai relasi-relasi
yang berbasis pada kondisi sosiologis (ekstratekstual) sebagai wujud dari
keterhubungannya dengan perkembangan kebudayaan. Perkembangan kebudayaan yang
pesat dan masif di era multimedia ini pun menuntut kepekaan dan partisipasi
atas kemungkinan sensibilitas-sensibilitas baru yang lahir dalam karya sastra
Indonesia. Kenyataan tersebut semestinya tidak membuat para akademisi untuk mandeg dan merasa mapan dengan capaian
keilmuan akademisnya, melainkan justru terus meningkatkan kompetensi wacana
teori dan metode keilmuannya.
Kasus di atas merupakan bukti bahwa kajian atas kesastraan
di wilayah mahasiswa belum memberikan satu progresivitas yang cemerlang. Asumsi-asumsi
yang menjadi kendala tersebut secara umum bisa diminimalisir secara berkelanjutan,
jika keilmuan sastra diajarkan secara kompatibel di wilayah akademik, mengikuti
perkembangan wacana lokal maupun global, dan terus-menerus bersinergi secara
empirik dengan realitas di masyarakat. Bersinergi bisa dipahami sebagai adanya keberlangsungan
atau keterhubungan hasil penelitian maupun kajian tersebut dengan peneliti yang
sudah pernah melakukan kajian serupa atau objek yang ditelitinya. Dalam ruang
lingkup Jambi, secara akademik bisa kita telusuri bahwa ada ada tiga kampus
besar dengan basis keilmuan bahasa dan sastra serta pendidikan bahasa dan
sastra Indonesia. Kampus sebagai pengemban kajian keilmuan secara akademik
memiliki tanggung jawab nyata dalam melihat potensi literasi di Jambi. Betapa
tidak, banyaknya hasil karya sastra dari para pengarang lokal, baik yang
berbasis tradisi lisan maupun modern, dari yang individu hingga antologi sudah
menyemarakkan inventarisasi kesastraan Jambi. Kampus sebagai basis pondasi keilmuan
sastra dituntut harus terus-menerus bersinergi dengan perkembangan pengetahuan
mutakhir. Selain itu, harus ada habitus yang masif untuk membentuk tradisi
keilmuan melalui pengembangan kajian-kajian kesusastraan yang ada,
diskusi-diskusi, dan juga seminar kesastraan.
Kendati demikian, yang cukup mencengangkan adalah
kajian-kajian serta diskusi-diskusi yang berbasis pada kritik sastra minim
dilakukan. Bisa dikatakan hanya momentum saja. Faktor yang tidak kalah penting
adalah ruang-ruang apresiasi kritik sastra atau ulasan, di media (dalam hal ini
koran) tidak ada. Kampus belum memberikan satu ruang terbuka yang konsisten
dalam diskusi atau kajian karya secara intens, kecuali tugas akhir mahasiswa
yang menghuni rak-rak perpustakaan berdebu. Ruang sebagai medium membangun
tradisi kritik sastra di Jambi bisa dikatakan belum tersedia secara nyata,
sehingga habitus ini menjadi kebiasaan yang berlarut-larut dan selanjutnya
dianggap sebagai kebenaran. Minimnya apresiasi kritik sastra yang ada, secara
tidak langsung menjadikan kritik sastra hanya sebatas bayang-bayang semu dari
karya sastra dan pengarangnya.
Faktor lain yang tidak kalah menarik adalah
fenomena-fenomena pergelaran seperti perlombaan karya sastra.
Perlombaan-perlombaan sastra yang secara momentum ini secara kreatif mendukung
penciptaan dan imajinasi dari masyarakat sastra Jambi, namun pada kenyataannya
jika tidak diimbangi dengan evaluasi, analisis, maupun kritik justru menjauhkan
apa yang menjadi tujuan dari budaya literasi, yaitu melek aksara. Kenapa demikian? Realitas ini menunjukkan bahwa
pola-pola pertemuan, obrolan, atau pergelaran yang secara khusus mempertemukan antara pengarang
dengan masyarakat, dengan para akademisi, mahasiswa, maupun khalayak umum
lainnya tidak lebih sebagai sebuah ritual kelisanan yang mencoba mengikat,
menyatukan, menentramkan. Bukan sebagai ruang diskursif yang secara kritis
meninjau kembali isu atau perkembangan kesastraan Jambi secara akademik maupun
kreatif. Misalkan saja lomba dengan mendatangkan juri seorang sastrawan
populer, atau pergelaran karya dari seorang sastrawan ternama. Fenomena
tersebut lebih sebagai bentuk interaksional antara penonton dengan idola-idola
mereka, sebuah konsekuensi nyata berjumpa dengan sastrawan. Kondisi yang
demikian juga menjadi satu faktor yang secara hegemonik memengaruhi fenomena
kritik sastra di Jambi. Kritik sastra diperlukan untuk mengukur dan menilai
seberapa signifikan perkembangan serta kemajuan sastra yang dicapai. Apabila
kondisi yang demikian tidak seimbang, yaitu banyaknya karya sastra yang muncul
dalam periode tertentu tanpa ada apresiasi kritis khususnya dari lingkungan
akademisi, maka kita sedang mengulang kembali orientasi kelisanan. Sedikit
menyitir kata-kata Chairil Anwar, “yang tidak menulis karya sastra tidak boleh
ambil bagian”. Konsekuensi tersebut secara dominan memberikan orientasi bahwa
mereka yang menulis (punya karya) lebih penting dari isi yang terkandung dalam
karya tersebut. Berkarya dengan harapan melegitimasi diri sebagai pengarang
atau sastrawan, untuk memeroleh posisi di panggung atau forum secara dominan. Karya
sastra dalam hal ini berfungsi sebagai artefak yang bersifat administratif, isi maupun substansinya di luar tanggung jawab
penulis. Barangkali demikian.
Jambi, 23 Agustus
2016
[1] Tulisan ini dipresentasikan dalam
acara Dialog, Sastra untuk Kita,
Kantor Bahasa Provinsi Jambi, 29 Agustus 2016
[2] Makalah
Prof. Faruk dalam acara Seminar Nasional Kesastraan, Peran Sastra dalam
Membangun Budaya Literasi, 26 Juli 2016 di hotel Novita Jambi
[3] Lihat Strukturalisme Genetik dan Epistemologi Sastra, P.D. Lukman,
Januari 1988, Yogyakarta, hal.20
[4] Lihat Strukturalisme Genetik dan Epistemologi Sastra, P.D. Lukman,
Januari 1988, Yogyakarta, hal.20
[5] Ibid, hal 35.
[6] Lihat Prof. Dr. A. Teeuw, Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan,
Pustaka Jaya, 1994, hlm.34
[7] Ibid., hlm.35
[8] Lihat Prof. Dr. A. Teeuw, “Puisi sebagai
Penggelaran” dalam Indonesia antara
Kelisanan dan Keberaksaraan , Pustaka Jaya, 1994, hlm.187
Tulisan ini juga pernah dipublikasikan pada website inilahjambi.com pada tautan berikut :
http://www.inilahjambi.com/sastra-kritik-sastra-dan-orientasi-kelisanan/
http://www.inilahjambi.com/sastra-kritik-sastra-dan-orientasi-kelisanan/
Komentar
Posting Komentar