Romantisme dan Problem Modernitas Subjek dalam Menoreh Rumah Terpendam
Sebagaimana yang sudah
diulas oleh Hasta Indriyana dalam catatan pengantar buku bahwa puisi adalah
sebuah fenomena dimana tegangan antara dunia ideal dengan kenyataan ditata
penyair dengan samar dan sumir (2016: xi). Asumsi senada pun juga disampaikan
oleh Asef Saeful Anwar dalam ulasan esainya, bahwa Latief juga menggunakan cara
berpikir analitik ketika unsur sejarah dijadikan titik pandang untuk melihat
keadaan objek puisinya dalam kerangka das
sein (yang ideal) dan das sollen
(yang nyata). Yang ideal dikembalikan pada sejarah sebagai cara pandang dan
harapan terhadap nasib tempat tersebut, sedangkan unsur yang nyata digunakan
sebagai permulaan sajak, yang kadang bernada kritis tapi kalem (Kolom Budaya, Koran Merapi Pembaruan, 27 Januari 2017).
Penggalan ulasan di atas, merupakan kesan terhadap 100 judul puisi yang terhimpun sepanjang 125 halaman, karya Latief S. Nugraha. Menoreh Rumah Terpendam mengantar kita kepada ingatan-ingatan romantik masa lalu yang (jauh) sekaligus juga kondisi saat ini yang harus disikapi. Penyair menghendaki momen-momen puitik tersebut menggugahnya untuk kemudian ditawarkan sebagai kacamata refleksi. Meski pun terkadang dapat kita jumpai dari beberapa judul bahwa penyair sendiri merasa gamang, skeptis, dan terbelah dalam mencerna antara yang ideal dengan yang nyata. Hal ini bukan tanpa disadari oleh penyair, melalui cara pandang yang membenturkan antara diri dengan dunia di luar, antara yang pasif dengan yang dinamis, kondisi masa kecil dengan kondisi sekarang yang asing, membaca sekaligus menilai transformasi tersebut di dalam karya-karya puisi merupakan sebuah kerja yang tidak terduga. Ia melihat ketegangan antara tradisi dengan modernitas dalam wilayah ingatan dan pengalaman yang semakin terbatas. Barangkali angan-angan inilah yang tengah diperjuangkan Latief melalui puisi-puisinya.
Kesadaran terhadap
ruang/tempat bukan sekadar representasi kehadiran yang eksplisit/geografis,
melainkan ia bernilai sebagai makna/implisit dalam simbol-simbol
epistemologisnya. Jika kita cermati ragam penggunaan bahasa yang diusung oleh
penyair, bisa kita temui kosakata Jawa yang demikian kuat dan kental. Intensitas
tersebut mengindikasikan bahwa keterlibatan subjek penyair terhadap dimensi
sosial-kultural Jawa dibentuk berdasarkan kelahiran, ingatan, pengalaman, kenangan,
dan angan-angan dalam bentang perjalanan hidupnya. Kedekatan yang dimaksud
tersebut bisa kita lihat dalam penggalan puisi “Bukit Menoreh II”,
Bukit
ini,
Malam
sunyi, heneng hening henung henang
Angin
pagi, dingin embun bening berlinang
Bukit
ini,
Bukti
keberadaan kakang marmati, kakang kawah,
adhi rah, adhi
ari-ari
Ditanam
di kedalaman tanah Jawa setiap hari
Melalui bahasa (Jawa) kiranya
Latief mendeskripsikan pengalamannya dengan lebih luwes. Bukan sebatas aspek
komunikasi yang pragmatis untuk menjelaskan maksud, melainkan ia juga mengikat
konteks. Konteks yang tidak ingin dilepaskannya secara sia-sia, melainkan menyampaikan yang tidak hadir, namun hadir. Penghayatan
inilah yang diolahnya secara ‘khas’ dan intensif dari awal hingga akhir. Ia menawarkan
cita rasa Jawa sebagai pandangan ideal bagi keseluruhan karya di Menoreh Rumah Terpendam. Model yang
demikian dalam perkembangan puisi (khususnya di Yogyakarta) tidak menutup
kemungkinan beresiko terjebak pada ruang klise. Jika kita membaca kembali dalam
dimensi kreatif Yogyakarta secara historis, jejak langkah Latief yang demikian
bisa kita lacak dengan membaca karya-karya dari Iman Budhi Santosa. Saya
mengasumsikan dua hal. Pertama bahwa proses kepenyairan Latief S. Nugraha
memang berada dalam satu jalur dengan model Iman Budhi Santosa (menitis), yakni
melalui penggalian etnografis dan ekologis Jawa sebagai citra estetiknya. Kedua,
bahwa ruang lingkup Jawa hadir sebagai ikatan emosional dan secara genetik
menjadi pandangan ideal-laku hidup,
untuk kemudian diejawantahkan dalam puisi sebagai ruang refleksi dan
kegelisahan diri penyair. Kondisi tersebut bisa kita cermati dari sudut pandang
penyair dalam melihat kondisi kota atau ruang lingkup hidupnya. Sebagai contoh,
puisi “Narasi Tua Kota Yogyakarta”. Perjalanan menelusuri ingatan dan perubahan
yang terjadi di tanah Mataram dari Panggung Krapyak hingga ke Tugu Pal Putih
dan bertemu di pusat, yakni Keraton Yogyakarta. Perjalanan yang mengantarkan
narasi kota ke sangkan paraning dumadi,
yaitu nasib dan takdir.
Dalam perspektif tersebut,
Yogyakarta digambarkan memiliki laku urip
spiritual yang akan memberikan jalan bagi nasib dan takdir. Keyakinan dan
kepasrahan menjadi satu konsensus ideal dalam menerjemahkan perjuangan hidup
manusia dalam titimangsa dinamika
Yogyakarta sebagai bayang-bayang masa lalu yang terus-menerus hadir sepanjang
zaman. Narasi tersebut menjadi bekal bagi manusia yang sabar, ulet, tekun, dan nrima ing pandum dalam segala
kemungkinan yang akan dihadapinya. Ikatan emosional inilah yang menjelma
intensitas dan keberpihakan penulis dalam menggali kemungkinan-kemungkinan
estetis dari berbagai fenomena kultural Yogyakarta sepanjang masa.
Intensitas yang hadir
dalam buku Menoreh Rumah Terpendam
adalah ingatan-ingatan yang sempat direkam penyair sebagai romantika masa lalu
yang ideal, nyaman, dan dirindukan. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa telah
terjadi perpindahan tempat dan ruang antara subjek (diri) dengan obyeknya. Ia
yang berjarak sanggup menarasikan sekelumit persoalan-persoalan yang muncul
dalam ingatan, sesudah teralami. Pengalaman inilah yang menjadi kata kunci
penyair setelah ia meninggalkan kampung halaman atau tanah kelahirannya.
Sebagaimana penggalan puisinya, ...Rumah
menjadi tempat berlibur yang selalu dirindukan/sebab setiap kepergian adalah
alasan untuk kembali/dan setiap keberangkatan adalah alasan untuk pulang...
(Jakarta).
Romantisme
dan Problem Modernitas
Saya mencermati bahwa
keseluruhan romantisme atas kenangan dan ingatan mendadak menjadi daya kreatif
yang meluap-luap dan mengambil peran yang signifikan dalam teks-teks Menoreh Rumah Terpendam. Ia hadir
sebagai subjek yang mengarahkan sekaligus juga menjadi obyek yang mengendapkan
secara impresif. Betapa tidak, Menoreh
adalah impresi yang telah terpendam sebagai rumah (jika kita mengaitkan dengan
judul antologi puisi ini) sebagai suatu bentang perjalanan dari waktu ke waktu
yang dialami dan berdiam di dalam tubuh dan jiwa penyairnya. Seperti dalam
penggalan puisi “Sawah”, berikut.
...
bau jerami meruap merasuk
menjema dunia dalam kepala
ke kedalamannya kami memelesat masuk
ciptakan keceriaan dan permainan-permainan
lama
...
sungguh, masa kanak yang hijau
lebih disukai dari musim kemarau
...
Romantisme telah mengendapkan
segala hal di masa lalu untuk kemudian dibangkitkannya kembali pada masa kini ketika
kita (subjek) bersentuhan dengan kondisi ‘pengalaman’ yang sama. Pengalaman ini
menjadi kunci utama untuk melihat posisi subjek dalam Menoreh Rumah Terpendam. Subjek memosisikan dirinya melalui
ukuran-ukuran lahiriah maupun batiniah. Yang lahiriah hadir melalui
deskripsi-deskripsi alam, geografi, wujud, sedangkan yang batiniah melalui
kesan, citra suasana, dan orientasi terhadap realitas yang hadir. Sebagai
contoh kita simak penggalan puisi berikut.
Bunyi serangga merambat tanah ke
pohon-pohon
melipat jarak antara siang dan malam
jadi lebih cepat seperti dalam sinetron
yang ditonton bapak dan ibu di televisi
sebagai hiburan, tanpa tahu jika semua itu
ilusi
Di kampung halaman aku kembali mengaji
mengenang kesalehanku di waktu kecil
seperti matahari terbit, dan tenggelam
menjelaskan dan mengaburkan setiap catatan
dalam buku kumpulan doa sehari-hari
yang kini tidak lagi kubaca-kumengerti
(“Maghrib
di Kampung Halaman”)
Kampung halaman yang
diingat tersebut telah berubah dan berjarak/terasing ketika subjek kembali
bukan sebagai kanak-kanak, melainkan seorang dewasa. Hal ini telah
membangkitkan sensibilitas, kegelisahan, dan daya kritis. Subjek telah bergerak
dan berjarak dengan dimensi yang berbeda. Tafsir atas kenyamanan dan
ketentraman di masa lalu beradu dengan modernitas yang menyusup lewat televisi
dan sekularitas yang mengancam keberlangsungan kebudayaan masa kini. Bisa
dikatakan bahwa kegelisahan dan kerisauan subjek direpresentasikan melalui pertentangan
antara kondisi masa lalu dengan kondisi masa kini. Masa lalu dianggap ideal
ketika bertemu dengan kekinian yang banal. Jika disederhanakan, perspektif
penyair atas ruang masa lalu/tradisi (yang berjarak dan dikenang) cenderung
positif dan masa kini/modernitas (yang dialami dan nyata) cenderung negatif.
Sudut pandang penyair
dalam Menoreh Rumah Terpendam secara
implisit hendak mengeksplorasi kegelisahan-kegelisahan yang terpendam, dengan
kembali mengusung hubungan antara diri dan alam, tradisi dan modernitas, kenyataan
dan harapan, dan seterusnya. Romantisme tersebut dijadikan sebagai titik pijak
(metode) untuk melihat segala sesuatu yang hadir di masa kini. Bagaimana subjek
mengenang keindahan alam, lanskap, masa kecil, kedamaian, ketentraman, desa dan
penduduknya, kesuburan, tradisi, dan pandangan hidup, merupakan indikasi bahwa
ia benar-benar terikat dan mengalami keseluruhan fenomena tersebut. Misalkan
bisa kita kutip puisi dengan judul “Orang-Orang Bukit Menoreh”, ... inilah tanahku yang galuh, rumah
terpendam dalam kenangan/... /lalu tumbuhlah orang-orang yang tak mengenal kata
mengeluh/menanam dalam-dalam segala kebaikan, merawatinya/ menjadikannya
sebagai bekal hidup saat ini dan masa depan/. Kepasrahan dan keyakinan yang
damai terpancar dari citraan yang direpresentasikan dalam kutipan puisi di
atas. Hal tersebut merupakan keteguhan subjek yang secara spiritual tidak bisa
ditawar, menyatu sebagai pandangan idealnya.
Pada sisi yang lain,
romantisme juga digunakan untuk mengukur dan menggambarkan ruang modern yang
sekarang hadir secara simultan dalam realitas kesehariannya. Subjek adalah
manusia yang hidup di masa kini, namun ia tidak mau/enggan melepaskan masa lalu
yang terpendam jauh menyusun separuh kehidupannya. Masa kini dengan
modernitasnya tidak memiliki asosiasi yang utuh, membahagiakan, harmonis, dan
seterusnya. Perspektif penyair atas ruang modern atau realitas yang bukan
berasal dari khazanah habitus kebudayaannya tersebut ditampilkan dalam kondisi chaos dan terasing. Asumsi tersebut
nampak dalam judul puisi “Jakarta”, “Di
Ramai Pusat Perbelanjaan”, “Kota Pemakaman”, “Malioboro”, “Tebu”, Bolak-Balik
Bulaksumur”, dan “Di Wirogunan”. Dalam sejumlah judul tersebut, terlihat sensibilitas subjek dalam memberikan kesan
terhadap ruang-ruang (melampaui tradisi) yang menjadi realitas memiliki
kecenderungan yang tidak kalem, liar, banal, dan tidak nyaman. Mungkin inilah
problem yang hendak disampaikan subjek terhadap ruang modernitas masa kini.
Sebagai contoh kita simak penggalan puisi dengan judul “Bolak-Balik Bulaksumur”
berikut.
...
jalan-jalan meleleh di sela tegak tinggi
hotel dan plaza
minimarket tumbuh berkecambah, trotoar
menjelam pasar
di hadapan bangunan-bangunan masa lalu
yang renta
lubang-lubang drainase tiada henti
digali—malam hari
kendaraan-kendaraan tanpa pengemudi
melesat
melindas kami yang pelan-pelan berubah
jadi gelap
mata sulit membedakan asap dan kabut
keduanya mengaburkan musim-musim yang
kemelut.
kota, mimpi buruk tanpa tidur
...
Subjek
dalam kutipan puisi di atas memosisikan dirinya dalam kondisi yang terasing,
terampas, dan tidak nyaman dalam segala situasi yang dihadapinya. Modernitas
menyisakan problem yang mengancam keberlangsungan subjek. Subjek dengan basis kultur
tradisi masa lalu yang kuat, seolah ditelan pelahan tanpa perlawanan oleh kota.
Bentang alam kota yang keras, individual, dipenuhi beton, aspal, kemacetan,
dilihat sebagai ‘musuh’ yang jahat dan endemik bagi subjek, telah menghadirkan
romantisme dan sikap berlebih kepada dunia ideal desa. Kota adalah pusat
pengetahuan modern dan dipahami sebagai penaklukan atas subjek. Hal tersebut
bertolak belakang dengan alam desa, yang menentramkan dan menginternalisasi
segala yang di luar diri untuk didamaikan dengan kepasrahan. Barangkali inilah
yang menjadi problem mendasar subjek terhadap modernitas. Dua unsur dalam
pembacaan ini, yaitu tradisi/modern, yang ideal/yang nyata adalah gambaran
secara struktural terhadap realitas yang ditawarkan oleh penyair dalam Menoreh Rumah Terpendam. Ia hadir dalam
negosiasi yang tidak selesai dan dalam wilayah yang tidak seluruhnya utuh.
Jika
kita mengenal sosok penyair secara pribadi, maka kita bisa mengetahui
karakteristiknya dari pilihan diksi yang kalem, runut, dalam asonansi,
aliterasi yang harmonis dalam keseluruhan “selera” diksinya. Sedangkan sebagai
subjek yang ideologis, puisi menjelma rekaman kehendak batin yang sekian lama
dipendam. Keinginan-keinginan untuk mengukuhkan, menguatkan, meluruskan
ingatan. Ia menjadi akar yang terus menjalar di bawah kesadaran psikologis,
yang sesekali muncul dengan sangat asing dan tidak terduga sama sekali. Ia
adalah kekuatan yang menjaga pribadi Latief lahir dan batin.
Buku
ini akan menjadi bagian yang memendam ingatan terhadap rumah, sekaligus
membukanya kepada siapa saja yang meluangkan waktu membacanya. Membaca Menoreh Rumah Terpendam saya seperti
kembali pulang ke Jawa, ke dalam ingatan yang terbata-bata oleh jarak dan
kerinduan.
Jambi,
28 Januari 2017
(tulisan ini pernah dipublikasikan di Pocer.co pada tautan berikut http://pocer.co/read/romantisme-dan-problem-modernitas-subjek-dalam-menoreh-rumah-terpendam )
Komentar
Posting Komentar