Subjektivitas Diksi dan Problem Estetik


Membaca kolom puisi dalam rubrik "Budaya" (Sabtu, 11 Maret 2017) yang lalu, saya menemukan beberapa problem mendasar dalam sebuah estetika puisi. Bahwa puisi memiliki salah satu karakter estetik, yaitu kepadatan. Kepadatan ini akan memberikan “impresi’ yang berbeda dibandingkan dengan karakter prosa yang menyebarkan (dispersi). Aspek kepadatan tersebut tentu saja bukan sekadar mengompres bahasa menjadi satuan-satuan diksi yang pendek, melainkan ia juga harus memberikan “tawaran” terhadap ruang yang dihadirkan dalam momen puitiknya. Hal ini merupakan sebuah konsekuensi yang harus dipahami dan disiasati seorang penyair yang mengekspresikan momen puitiknya ke dalam karya. Agar tidak terjebak dalam konstruksi yang dipaksakan, alih-alih klise, penyair juga harus mampu mengolah bahasa sedemikian rupa, dalam artian efektif. Termasuk koherensi kalimat, metafora maupun alusi.

Mari kita simak empat puisi karya FE Sutan Kayo, dengan judul “Rindu Bertemu”, “Merawat Rindu”, “Requiem Terakhir”, dan “Membungkam Gaduh”.  Puisi pertama, “Rindu Bertemu”. Secara garis besar puisi ini mengisahkan pengalaman personal “kita” sebagai subjek dalam sebuah pertemuan. Pertemuan menjadi penanda pengalaman yang menggiring pembaca kepada semacam kemungkinan harapan, menunggu ia menetas di taman hijau itu.

Puisi ini dibuka dengan baris, semalam kita saling tikam menikam membangun. Baris tersebut secara impresif mengarahkan pembaca kepada permainan bunyi dari struktur dominan aliterasi yang dihadirkan melalui fonem /m/. Struktur ini secara impresif sudah membebani pembaca dengan orientasi yang mengarah kepada efek akustis. Bunyi fonem /m/ dalam baris saja merupakan bunyi yang mandeg dan pekat. Mengutip gagasan Pradopo, bila pemakaian bunyi hanya sebagai hiasan dan permainan bunyi saja, tidak menigintensifkan arti maka kurang mempunyai daya ekspresi.

Selanjutnya disusul dengan baris sebagai berikut, ladang kata-kata di bumi langkah serentak limbai seayun/ seperti membangkitkan batang terendam di antara/ klakson telolet/ dari bus yang lewat membawa rindu bertemu di/ warung sate. Baris tersebut menunjukkan bahwa struktur semantik yang dibangun tidak menunjukkan koherensi secara efektif. Alih-alih meneguhkan sebuah strategi deotomatisasi, justru terjebak kepada sebuah konstruksi abstrak dan gelap. Dalam artian, makna yang hendak ditangkap tidak menghasilkan kesatuan citraan yang dapat diterima secara struktur. Barangkali asumsi penyair adalah memadukan fenomena modernitas dengan tradisi sebagai sebuah pengalaman jiwa, namun ketelitian struktur dan pilihan katanya terabaikan. Dalam hal ini struktur teks  terkesan “memaksakan” seluruh emosi dan momen puitik yang dialami secara subjektif. Perlu diingat bahwa bahasa adalah medium utama dalam puisi. Penggunaan bahasa yang menyimpang dari kelaziman normatif memang menjadi salah satu metode puisi, tetapi konsekuensi yang harus dipenuhi adalah melakukan seleksi dan eliminasi untuk mencapai kesatuan semantis maupun kesatuan bentuk formalnya.
kemana langkah hendak dituju kemedan pertempuran
atau hanya sekedar melihat musim membungkam
mimpi
anak-anak huluan kedalam raungan musik disk joki
malam belumlah pagi ayam jantan semakin dungu
berkokok
            
Kutipan di atas menunjukkan bahwa kesatuan semantis dalam struktur baris di atas menimbulkan kerancuan dan ambiguitas. Jika dimaksudkan sebagai semacam metafor, tentu saja pilihan struktur diefektifkan untuk mendukung efek kepuitisan. Sebagai contoh struktur yang kurang logis, kurang koheren dalam membangun citraan yaitu, malam belumlah pagi ayam jantan semakin dungu/ berkokok. Struktur baris ini mengganggu intensifikasi dan koherensi antar baris, baik dengan baris sebelumnya maupun sesudahnya. Dalam kasus puisi di atas, asumsi yang bisa disimpulkan adalah struktur bahasa yang padat dan efektif belum benar-benar terwujud dengan baik sehingga abstraksi atas kesatuan citraan dan “arti” belum maksimal. Permasalahan lain adalah persoalan tata wajah atau tipografi. Asumsinya adalah tipografi berubah karena tata letak dan kapasitas kolom puisi. Meski pun hal tersebut masih sebatas asumsi, bisa juga memang demikian adanya.

Dalam puisi berjudul, “Merawat Rindu”, kondisi yang dipaparkan di atas sedikit terobati. Hal tersebut dapat terlihat dari kepaduan pilihan kata yang terasa lebih halus dan nyaman. Impresi yang dibangun dalam sajak ini lebih kuat dan menyatukan citraan. Meski pun ada pemborosan diksi yang mengurangi kapasitas impresi puitiknya sebagai berikut.
                        nak lirikan matamu
seperti rindu yang belati
                        menikam tikam para kekasih

Puisi di atas mengungkapkan bagaimana hubungan emosional (kecintaan) ayah kepada anaknya yang diliputi kasih sayang. Metafor yang digunakan untuk mengekspresikan hal tersebut cukup segar, yakni seperti rindu yang belati. Rindu adalah belati yang tajam. Sebuah efek psikis yang kuat dalam benak pembaca ketika belati digunakan untuk mengekspresikan sisi emosional subjek. Sayangnya rindu yang belati tersebut masih diragukan ketajamannya ketika menikam tikam para kekasih. Peristiwa menikam tikam dimaksudkan sebagai kata ulang yang bermakna frekuentif, jika mengacu pada makna gramatikalnya. Secara harfiah, bentuk bakunya adalah menikam-nikam. Dalam kasus di atas, terjadi modifikasi secara gramatikal untuk menciptakan makna baru. Akan tetapi, keefektifan makna yang dibentuk menjadi agak boros ketika disusul oleh frasa para kekasih. Para kekasih bermakna jamak. Peristiwa tersebut secara frekuentif menunjukkan bahwa rindu yang tajam (berulangkali) menikam semua kekasih. Ketajaman rindu diukur bukan dari sifatnya, melainkan dari frekuensi yang dihasilkannya. Dalam artian, efek atau hasil yang diperoleh adalah hasil yang kuantitatif dan bukan kualitatif.

Pertanyaannya, mengapa rindu tersebut berulangkali melukai kekasih? Apakah ini semacam alusi atas kerelaan dan kebahagiaan? Jawabannya mungkin, agar tak membuat kau lupa merawat rindu di semua musim. Sebab rindu adalah sebuah proses yang tajam, yang membuat para kekasih tak berkutik dalam kepasrahan dan kerelaannya. Simbol emosional hubungan antara ayah dan anak direpresentasikan melalui bibit cabe dan rasa pedas. Ini adalah kultur yang secara genetis menandai identitas subjek dan ditransformasikan kepada generasi berikutnya.
Selanjutnya dalam puisi “Requiem Terakhir”, terjadi fenomena serupa seperti halnya dalam kasus pertama di atas.
                        menyetubuhi kemarau di matamu yang payau
                        tak ada air mata selain rindu tumbuh subur
                        melantunkan requiem terakhir
                        sepenuh sunyi      

Struktur kalimat dalam baris-baris puisi di atas menunjukkan bahwa pemilihan diksi bukan dimaksudkan untuk mengintensifkan arti, melainkan hanya sebagai hiasan sehingga terkesan kurang mempunyai daya ekspresi. Perhatikan dari baris pertama, secara sintaksis, frasa menyetubuhi kemarau terasa aneh dan asing. Bahkan cenderung abstrak dan jauh dari efek kepuitisan. Ditambah lagi dengan frasa di matamu yang payau. Deotomatisasi yang dimaksudkan sebagai bagian dari lisensia puitika justru tidak berhasil menghadirkan momen puitik di dalam teks. Jika bisa disimpulkan lebih dalam bahwa struktur diksi, sintaksis dan semantiknya gagal membangun koherensi yang harmonis. Strukturnya terkesan dipaksakan dan tergesa-gesa, alias instan.

Jika ditelusuri strukturnya, baris pertama terlampau rumit dan kompleks untuk dicerna. Tidak efektif dan logis menerjemahkan momen puitik secara utuh sebagai kesatuan citraan. Betapa tidak, aktivitas berhubungan badan dengan kemarau itu seperti apa? Kemudian lokasinya di matamu yang payau. Mata yang payau adalah mata yang agak asin tercampur air laut. Mata yang tercampur atau terkena air laut akan terasa perih dan tidak bisa melihat dengan baik. Kemudian di ruang itu (mata) terjadi persetubuhan. Alih-alih menciptakan alusi atau metafor, justru hal tersebut menghilangkan kepuitisan, kegelapan, dan tidak memuaskan. 

Dalam baris pertama di atas tersebut, sepertinya kebutuhan utama adalah memainkan asonansi dari bunyi /a/ dan /u/. Hal tersebut dilanjutkan dengan tak ada air mata selain rindu tumbuh subur. Menyambung baris sebelumnya bahwa setelah menyetubuhi (berhubungan badan dengan) kemarau yang berlokasi di matamu, maka air mata tidak ada. Padahal jika mata perih, secara otomatis air mata akan muncul. Berikutnya terlihat adanya kontradiksi, jika kita menghubungkan antara menyetubuhi kemarau (baris pertama) dengan rindu tumbuh subur. Bagaimana menyetubuhi kemarau bisa menghasilkan rindu yang tumbuh subur?

Kontradiksi tersebut juga terlihat dalam baris lima, enam, dan tujuh, berikut, sebelum musim benar-benar bertaut/ sisa hujan yang menjelma sungai/ di dada para kekasih. Musim dipaparkan belum bertaut, dalam artian bahwa musim belum berpindah atau berganti. Sedangkan sisa hujan sudah menjelma sungai di dada para kekasih. Logika tersebut kurang dicermati dalam membangun koherensi dan kepaduan antarbaris. Ketidakkonsistenan ini menjadikan puisi kurang berhasil dan cenderung terlena oleh dirinya sendiri.

Hal yang sama juga terjadi dalam puisi “Membungkam Gaduh”. Kurang hati-hati dan cermat dalam mengeksekusi diksi menjadi problem yang fatal. Kita perhatikan kutipannya berikut ini.
                        diam-diam kau pun membungkam segala bungkam
                        memasung suara-suara yang semakin gaduh
                        menyuarakan tawa dan senyum lebarmu
                        yang tak berarti apa-apa sama sekali

Baris pertama hingga terakhir di atas, menunjukkan terjadi kontradiksi logika antarbaris. Baris pertama terlihat bahwa kau membungkam segala bungkam. Penggunaan frasa tersebut terlalu berlebihan, sebab membungkam adalah menutup mulut supaya diam. Jika yang dilakukan adalah membungkam segala bungkam maka kau menutup mulut serapat-rapatnya meskipun sudah tidak ada lagi bunyi dan suara. Hal tersebut terkesan represif dan egois. Bahkan cenderung skeptis.
Baris pertama dan kedua menunjukkan koherensi semantiknya, akan tetapi di baris ketiga muncul pertentangan yang menyebabkan kerancuan logika. Setelah kau membungkam segala bungkam/ memasung suara-suara gaduh, justru di baris ketiga terjadi pengingkaran dari -mu yang menyuarakan tawa dan senyum lebarmu. Anehnya lagi, hal tersebut tak berarti apa-apa sama sekali. Semacam kesia-siaan belaka. Aktivitas membungkam dan memasung suara-suara gaduh pada akhirnya diingkari dan menjadi sia-sia. Selanjutnya muncul pernyataan (atau pertanyaan), Tuan, apa kami harus kembali membuat coretan dinding/ atau jangan-jangan muka Tuan/ yang harus kami hapus/ dalam ingatan. Apa hubungan empat baris terakhir tersebut dengan empat baris sebelumnya?
  
Tulisan ini pernah dipublikasikan di koran Jambi One dua minggu berurutan, Sabtu 18 Maret 2017 dan 25 Maret 2017.

Komentar

Postingan Populer